Minggu, 02 Juni 2013

JEJAK TANAH ARAB DENGAN ACEH NANGROE SEURAMOE MEUKAH


  • Asyi”, sebutan marga Aceh dikalangan orang Arab. Gelar Asyi ini adalah merupakan sebuah pengakuan identitas bagi setiap orang Aceh di Arab Saudi yang terhormat, sehingga gelar "al-Asyi" ini kemudian bisa dikatakan sebagai salah satu marga Aceh yang wujud di Tanah Arab



  • Sebutan negeri Aceh adalah tidak asing bagi sebagian orang Arab walaupun sekarang hanyalah salah satu propinsi di negeri ini. Karena itu, saya memandang bahwa martabat orang Aceh di Arab Saudi sangat luar biasa. Sejauh ini, gelar ini memang tidak begitu banyak, namun mengingat kontribusi para Asyi ini pada kerajaan Saudi Arabia, saya berkeyakinan bahwa ada hubungan yang cukup kuat secara emosional antara tanah Arab ini dengan Serambinya, yaitu Aceh.

    Banyak sekali orang Arab keturunan Aceh mendapat kedudukan bagus di kerajaan Saudi Arabia seperti alm Syech Abdul Ghani Asyi mantan ketua Bulan Sabit Merah Timur Tengah, Alm Dr jalal Asyi mantan wakil Menteri Kesehatan Arab Saudi, DR Ahmad Asyi mantan wakil Menteri Haji dan Wakaf dan banyak sekali harta wakaf negeri Aceh sekarang masih wujud disana.

    Kita akan menguak tradisi sumbang menyumbang masyarakat Aceh di Tanah Hijaz (Mekkah, Saudi Arabia) pada abad ke-17 Masehi. Ini menarik agar kita tahu bagaimana kontribusi Aceh atas tanah hijaz (sekarang bernama Saudi Arabia, red), dimana orang Aceh tidak hanya mewakafkan tanah, melainkan juga emas yang didatangkan khusus dari Bumi Serambi ke negeri Mekkah Al-Mukarramah ini.

    Diriwayatkan bahwa pada tahun 1672 M, Syarif Barakat penguasa Mekkah pada akhir abad ke 17 mengirim duta besarnya ke timur. Mencari sumbangan untuk pemeliharaan Masjidil Haram. Karena kondisi Arab pada saat itu masih dalam keadaan miskin. Kedatangan mareka ke Aceh setelah Raja Moghol, Aurangzeb (1658-1707) tidak mampu memenuhi keinginan Syarif Barakat itu. Dia saat itu belum sanggup memberi sumbangan seperti biasanya ke Mesjidil Haram. Setelah empat tahun rombongan Mekkah ini terkatung katung di Delhi India. Atas nasehat pembesar di sana, rombongan ini berangkat ke Aceh dan tiba di Aceh pada tahun 1092 H (1681M).

    Sampai di Aceh, duta besar Mekkah ini disambut dan dilayani dengan baik dan hormat oleh Sri Ratu Zakiatuddin Inayatsyah (1678-1688 M). Di luar dugaan, kedatangan utusan syarif Mekkah ini menyulut semangat kelompok wujudiyah yang anti pemerintahan perempuan. Namun, karena sosok Sultanah Zakiatuddin yang ‘alim dan mampu berbahasa Arab dengan lancar. Bahkan menurut sejarah, dia berbicara dengan para tamu ini dengan menggunakan tabir dari sutra Dewangga (Jamil: 1968).

    Utusan Arab sangat gembira diterima olehSri Ratu Zakiatuddin, karena mareka tidak mendapat pelayanan serupa ketika di New Delhi, India. Bahkan empat tahun mareka di India, tidak dapat bertemu Aurangzeb.

    Ketika mereka pulang ke Mekkah, Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah, memberi mareka tanda mata untuk rombongan dan Syarif Mekkah juga sumbangan untuk Mesjidil Haram dan dan Mesjidil Nabawi di Madinah terdiri dari: tiga kinthar mas murni, tiga rathal kamfer, kayu cendana dan civet (jeuebeuet musang), tiga gulyun (alat penghisap tembakau) dari emas, dua lampu kaki (panyot-dong) dari emas, lima lampu gantung dari emas untuk Masjidil Haram, lampu kaki dan kandil dari emas untuk Masjid Nabawi.

    Pada tahun 1094 (1683 M) mareka kembali ke Mekkah dan sampai di Mekkah pada bulan Sya’ban 1094 H (September 1683 M). Dua orang bersaudara dari rombongan duta besar Mekkah ini yakniSyarif Hasyim dan Syarif Ibrahim, tetap menetap di Aceh atas permintaan para pembesar negeri Aceh yang dalam anti raja perempuan (Jamil: 1968). Mereka dibujuk untuk tetap tinggal di Aceh sebagai orang terhormat dan memberi pelajaran agama dan salah satu dari mereka, kawin dengan Kamalat Syah, adik Zakiatuddin Syah.

    Lima tahun kemudian setelah duta besar Mekkah kembali ke Hijaz dengan meninggalkan Syarif Hasyim dan Syarif Ibrahim di Aceh, Sultanah Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah wafat tepat pada hari Ahad 8 Zulhijjah 1098H (3 Oktober 1688 M). Pemerintahan Aceh digantikan oleh adiknya yaitu Seri Ratu Kamalatsyah yang bergelar juga Putroe Punti. Dia diangkat menjadi Ratu pemerintahan kerajaan Aceh atas saran Syeikh Abdurrauf Al Fansury yang bertindak pada saat itu sebagai Waliyul-Mulki (Wali para Raja).

    Baru setelah meninggalnya Syeikh Abdurrauf pada malam senin 23 Syawal 1106 H (1695M), konflik mengenai kedudukan pemerintahan Aceh dibawah pemerintahan ratu yang telah berlangsung 54 tahun sejak Safiatuddin Syah(1641-1675M), terguncang kembali. Hal ini dipicu oleh fatwa dari Qadhi Mekkah tiba. Menurut sejarah, “fatwa import” ini tiba dengan “jasa baik” dari golongan oposisi ratu. Lalu pemerintah Aceh, diserahkan kepada penguasa yang berdarah Arab, yaitu salah satu dua utusan Syarif dari Mekkah, yakni suami Ratu Kemalatsyah, Syarif Hasyim menjadi raja pada hari Rabu 20 Rabi`ul Akhir 1109 H (1699M).

    Menurut sejarah, Ratu tersebut dimakzulkan akibat dari “fatwa import” tersebut. Lalu kerajaan Aceh memiliki seorang pemimpin yang bergelar Sultan Jamalul Alam Syarif Hasyim Jamalullail (1110-1113 H/1699-1702M). dengan berkuasanya Syarif Hasyim awal dari dinasti Arab menguasai Aceh sampai dengan tahun 1728 M. Inilah bukti sejarah bahwa kekuasaan para Ratu di Aceh yang telah berlangsung 59 tahun hilang setelah adanya campur tangan pihak Mekkah, paska para ratu ini menyumbang emas ke sana. Aceh yang dipimpin oleh perempuan selama 59 tahun bisa jadi bukti bagaimana sebenarnya tingkatemansipasi perempuan Aceh saat itu (Azyumardi Azra, 1999).

    Terkait dengan sumbangan emas yang diberikan oleh Ratu kepada rombongan dari Mekkah, ternyata menjadi perbincangan dan perdebatan di Mekkah. Disebutkan bahwa sejarah ini tercatat dalam sejarah Mekkah dimana disebutkan bahwa emas dan kiriman Sultanah Aceh tiba di Mekkah di bulan Syakban 1094 H/1683 M dan pada saat itu Syarif Barakat telah meninggal. Pemerintahan Mekkah digantikan oleh anaknya Syarif Sa’id Barakat (1682-1684 M). Snouck Hurgronje, menuturkan “Pengiriman Seorang Duta Mekkah ke Aceh Pada Tahun 1683” sempat kagum terhadap kehebatan Aceh masa lalu dan dicatat dalam bukunya, dimana sewaktu dia tiba di Mekkah pada tahun 1883. Karena Kedermawaan Bangsa dan Kerajaan Aceh masa itu, Masyarakat Mekkahmenyebut Aceh Sebagai "Serambi Mekkah" di sana.

    Ternyata sumbangan Kerajaan Aceh 200 tahun yang lalu masih selalu hangat dibicarakan disana. Menurutnya berdasarkan catatan sejarah Mekkah yang dipelajarinya barang barang hadiah itu sempat disimpan lama di rumah Syarif Muhammad Al Harits sebelum dibagikan kepada para Syarif yang berhak atas tiga perempat dari hadiah dan sedekah diberikan kepada kaum fakir miskin sedangkan sisanya diserahkan kepada Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.

    Begitu juga tradisi wakaf orang Aceh di tanah Arab sebagai contoh tradisi wakaf umum, ialah wakaf habib Bugak Asyi yang datang ke hadapan Hakim Mahkmah Syariyah Mekkah pada tanggal 18 Rabiul Akhir tahun 1224 H. Di depan hakim dia menyatakan keinginannya untuk mewakafkan sepetak tanah dengan sebuah rumah dua tingkat di atasnya dengan syarat; rumah tersebut dijadikan tempat tinggal jemaah haji asal Aceh yang datang ke Mekkah untuk menunaikan haji dan juga untuk tempat tinggal orang asal Aceh yang menetap di Mekkah.

    Sekiranya karena sesuatu sebab tidak ada lagi orang Aceh yang datang ke Mekkah untuk naik haji maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal para pelajar (santri, mahasiswa) Jawi (nusantara) yang belajar di Mekkah. Sekiranya karena sesuatu sebab mahasiswa dari Nusantara pun tidak ada lagi yang belajar di Mekkah maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal mahasiswa Mekkah yang belajar di Masjid Haram. Sekiranya mereka ini pun tidak ada juga maka wakaf ini diserahkan kepada Imam Masjid Haram untuk membiayai kebutuhan Masjid Haram.
    Menurut sejarah, sebenarnya bukan hanya wakaf habib Bugak yang ada di Mekkah, yang sekarang hasilnya sudah dapat dinikmati oleh para jamaaah haji dari Aceh tiap tahunnya lebih kurang 2000 rial per jamaah. Peninggalan Aceh di Mekkah bukan hanya sumbangan emas pada masa pemerintahan ratu ini juga harta harta wakaf yang masih wujud sampai saat ini seperti :

    • Wakaf Syeikh Habib Bugak Al Asyi',
    • Wakaf Syeikh Muhammad Saleh Asyi dan isterinya Syaikhah Asiah (sertifikat No. 324) di Qassasyiah,
    • Wakaf Sulaiman bin Abdullah Asyi di Suqullail (Pasar Seng),
    • Wakaf Muhammad Abid Asyi,
    • Wakaf Abdul Aziz bin Marzuki Asyi,
    • Wakaf Datuk Muhammad Abid Panyang Asyi di Mina,
    • Wakaf Aceh di jalan Suq Al Arab di Mina,
    • Wakaf Muhammad Saleh Asyi di Jumrah ula di Mina,
    • Rumah Wakaf di kawasan Baladi di Jeddah,
    • Rumah Wakaf di Taif,
    • Rumah Wakaf di kawasan Hayyi al-Hijrah Mekkah.
    • Rumah Wakaf di kawasan Hayyi Al-Raudhah, Mekkah,
    • Rumah Wakaf di kawasan Al Aziziyah, Mekkah.
    • Wakaf Aceh di Suqullail, Zugag Al Jabal, dikawasan Gazzah, yang belum diketahui pewakafnya.
    • Rumah wakaf Syech Abdurrahim bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk Syik di Awe Geutah, Peusangan) di Syamiah Mekkah,
    • Syech Abdussalam bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk di Meurah, Samalanga) di Syamiah, Abdurrahim bin Abdullah bin Muhammad Asyi di Syamiah dan Chadijah binti Muhammad bin Abdullah Asyi di Syamiah.

    Inilah bukti bagaimana generous antara ibadah dan amal shaleh orang Aceh di Mekkah.Mereka lebih suka mewakafkan harta mereka, ketimbang dinikmati oleh keluarga mereka sendiri. Namun, melihat pengalaman Wakaf Habib Bugak, agaknya rakyat Aceh sudah bisa menikmati hasilnya sekarang. Fenomena dan spirit ini memang masih sulit kita jumpai pada orang Aceh saat ini, karena tradisi wakaf tanah tidak lagi dominan sekali. Karena itu, saya menganggap bahwa tradisi leluhur orang Aceh yang banyak mewakafkan tanah di Arab Saudi perlu dijadikan sebagai contoh tauladan yang amat tinggi maknanya. Hal ini juga dipicu oleh kejujuran pengelolalaan wakaf di negeri ini, dimana semua harta wakaf masih tercatat rapi di Mahkamah Syariah Saudi Arabia.

    Sebagai bukti bagaimana kejujuran pengelolaan wakaf di Arab Saudi, Pada tahun 2008 Mesjidil haram diperluas lagi kekawasan Syamiah dan Pasar Seng. Akibatnya ada 5 persil tanah wakaf orang Aceh terkena penggusuran. Tanah wakaf tersebut adalah kepunyaan Sulaiman bin Abdullah Asyi, Abdurrahim bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk Syik di Awe Geutah, Peusangan), Syech Abdussalam bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk di Meurah, Samalanga), Abdurrahim bin Abdullah bin Muhammad Asyi dan Chadijah binti Muhammad bin Abdullah Asyi. 

    Di Mekkah juga penulis sempat bertemu dengan Saidah Taliah Mahmud Abdul Ghani Asyi serta Sayyid Husain seorang pengacara terkenal di Mekkah untuk mengurus pergantian tanah wakaf yang bersetifikat no 300 yang terletak di daerah Syamiah yang terkena pergusuran guna perluasan halaman utara Mesjidil haram Mekkah al Mukarramah yang terdaftar petak persil penggusuran no 608. Yang diwakafkan oleh Syech Abdurrahim Bawaris Asyi (Tgk Syik di Awe Geutah, Peusangan) dan adiknya Syech Abdussalam Bawaris Asyi (Tgk di Meurah, Samalanga). 

    Memang pada asalnya 75 persen tanah di sekitar Mesjidil Haram adalah tanah wakaf apakah itu wakaf khusus atau wakaf umum. Dan sebagiannya ada milik orang orang Aceh dulu dan ini bagian dari kejayaan Aceh yang pernah masuk dalam 5 besar negeri Islam di dunia bersama Turki, Morroko, Iran, Mughal India dan Aceh Darussalam di Asia tenggara.

    Menurut peraturan pemerintah Saudi Arabia para keluarga dan nadhir dapat menuntuk ganti rugi dengan membawa bukti kepemilikan (tentu memerlukan proses yang lama ie menelusuri siapa nadhir tanah wakaf tersebut, penunjukan pengacara dll) dan bisa menghadap pengadilan agama Mekkah menutut ganti rugi dan penggantian dikawasan lain di Mekkah sehingga tanah wakaf tersebut tidak hilang. Kalau seandainya tidak ada keluarga pewakaf lagi khusus untuk wakaf keluarga maka sesuai dengan ikrar wakaf akan beralih milik mesjidil haram atau baital mal. Inilah pelajaran atau hikmah tradisi wakaf di Mekkah yang semoga bisa menjadi contoh yang baik bagi pengelolaan wakaf di Aceh.

    Mekkah Tempo Dulu

    Itulah secuil catatan yang tercecer, tentang wakaf orang Aceh di Tanah Arab, walaupun generasi sekarang hanya mengenal bahwa Aceh adalah Serambi Mekkah. Namun sebenarnya ada rentetan sejarah yang menyebabkan Aceh memang pernah memberikan kontribusi penting terhadap pembinaan sejarah Islam di Timur Tengah. Karena itu, selain Aceh memproduksi Ulama, ternyata dari segi materi, rakyat Aceh juga memberikan sumbangan dan wakaf yang masih bisa ditelusuri hingga hari ini.

    Karena itu, saya menduga kuat bahwa tradisi Islam memang telah dipraktikkan oleh orang Aceh saat itu, dimana “tangan di atas, lebih baik daripada tangan di bawah”. Akibatnya, kehormatan orang Aceh sangat disegani, baik oleh kawan maupun lawan. Dalam hal ini, harus diakui bahwa Snouck telah “berjasa” merekam beberapa akibat dari episode sejarah kehormatan orang Aceh. Inilah pelajaran penting bagi peneliti sejarah Aceh, dimana selain bukti-bukti otentik, sejarah juga bisa ditulis melalui oral history (sejarah lisan). Pelajaran ini sangat penting bagi generasi sekarang untuk melacak dimana peran orang Aceh di beberapa negara, termasuk di Timur Tengah.

    Inilah sekelumit hasil muhibbah saya ke Arab Saudi dan saya benar-benar terkesima dengan pengakuan identitas "Asyi" dan pola pengelolaan wakaf di Arab Saudi. Selain ini, di dalam perjalanan ini, saya sempat berpikir apakah nama baik orang Aceh di Arab Saudi bisa sederajat dengan nama baik Aceh di Indonesia dan di seluruh dunia. Yang menarik adalah hampir semua negara yang saya kunjungi, nama Aceh selalu dihormati dan dipandang sebagai bagian dari peradaban dunia.

BERHENTILAH MENIPU ACEH WAHAI RI JAWA

  1. Perjalanan sejarah Serambi Mekah diliputi sejumlah kekerasan dan pelanggaran kemanusiaan. Mampukah musibah tsunami dijadikan momentum untuk mengakhiri tragedi kemanusiaan secara signifikan?

Sejarah kekerasan di Aceh telah dimulai sejak masa kolonial. Juanda, aktivis People Crisis Center (PCC) yang juga Key Informan Aceh untuk Riset Demos, melukiskan bahwa upaya kolonialisasi yang dilakukan Portugis dan Belanda telah memaksa rakyat Aceh mengacungkan senjata. Puluhan tahun atau bahkan ratusan tahun Belanda dengan gigih melakukan berbagai upaya untuk menaklukkan Aceh secara intensif dan ofensif. 

  1. Namun selama itu pula serdadu Belanda frustasi menyaksikan kobaran api jihad rakyat Aceh yang terus bergelora. Nama-nama besar yang tertoreh dalam sejarah seperti Teuku Umar, Teuku Cik Ditiro, Cut Nyak Dien, dan pahlawan nasional dari Aceh lainnya telah menunjukkan pada dunia bahwa Aceh merupakan “bumi patriot” yang tak bisa dipaksa dan diperkosa dengan kekuatan senjata.
    Sayangnya, catatan sejarah tersebut tidak dijadikan pelajaran berharga oleh para penghulu negeri ini untuk memahami Aceh secara bijaksana. Pasca kemerdekaan Indonesia, Aceh justru tenggelam dalam tipuan berkepanjangan.

    Pada tanggal 17 Juni 1945, Bung Karno pernah berpidato di lapangan Blang Padang, Kutaraja (Banda Aceh). Ketika itu, Soekarno mengakui Aceh sebagai modal utama bagi perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Sejarah pun mencatat Aceh berperan dalam kepemilikan pesawat terbang pertama Indonesia, Dakota. Karena itu, Soekarno menjanjikan status “daerah istimewa” jika kelak Indonesia merdeka. 

    Namun semenjak kemerdekaan Indonesia dideklarasikan 17 Agustus 1945 hingga rezim Soekarno berakhir, “keistimewaan” Aceh tak pernah secara serius diberikan. Paling tidak, diundangkan seperti Daerah Istimewa Yogyakarta dan Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Inilah tipuan pertama yang dilakukan Orde Lama yang sekaligus menjadi inspirasi awal lahirnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai wujud ketidakpuasan rakyat Aceh.

    Rezim Orde Baru kemudian menyempurnakan tipuan itu dengan cara yang lebih memuakkan. Dengan berbagai kebijakannya yang sentralistik, Aceh tak ubahnya sebagai sapi perahan. Bagaimana mungkin, LNG Arun sebagai sumber gas alam terbesar kedua dunia setelah Qatar tak mampu memberi kesejahteraan bagi penduduk sekitar. Sebagai daerah penyumbang ekspor terbesar setelah Riau dan Kaltim, Aceh hanya mendapatkan tetesan subsidi pembangunan alakadarnya. Ketidakpuasan ini yang kemudian menyuburkan semangat perlawanan bak jamur di musim hujan. GAM pun menjelma menjadi kekuatan yang kian militan. Sementara rakyat kebanyakan berada di simpang jalan kebimbangan yang akhirnya justru menjadi korban.

    Semenjak dilakukan Operasi Jaring Merah, PRRM, dan terutama pasca dilembagakannya Daerah Operasi Militer (DOM) selama sembilan tahun (1989-1998), ratusan ribu warga Aceh telah terbunuh. Akibatnya, bumi Serambi Mekah bersimbah darah, tenggelam dalam nestapa berkepanjangan. Dalam situasi kelam seperti itu, Aceh hampir tak menyisakan sedikit pun “lahan perdamaian” yang aman. Sementara kecurigaan dan rasa permusuhan seakan tak pernah musnah akibat intrik-intrik dan liciknya mesin politik yang sentralistik. Tepatlah ungkapan budayawan Taufik Ismail: “Di negeri ini telah terjadi kekejaman tidak masuk akal, dalam sandiwara politik yang luar biasa keji.” Aceh adalah tragedi !

    Perubahan politik setelah tumbangnya rezim Soeharto membersitkan harapan baru bagi masyarakat Aceh. B.J Habibie tidak saja mencabut status DOM, namun secara eksplisit menyatakan permohonan maaf pemerintah kepada masyarakat Aceh atas akibat-akibat yang ditimbulkan DOM. Dalam lawatannya ke Aceh 7 Agustus 1998, B.J Habibie juga berjanji untuk menarik pasukan seraya menggelar pertanggungjawaban hukum atas pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh. Namun demikian, berbagai upaya yang dilakukan B.J Habibie menunjukkan bahwa pengadilan itu pada dasarnya hanya menyentuh para pelaku di lapangan. Sementara para pejabat yang membuat keputusan seakan tak tersentuh. Kondisi ini yang menyebabkan kekerasan di Aceh terus berualang. Di sisi lain, kalangan masyarakat sipil yang menuntut keadilan justru dikriminalisasi sebagai perpanjangan tangan GAM.

    B.J Habibie juga membuat keadaan semakin parah dengan menggelar serangkaian “operasi terbatas” di pemukiman yang dianggap sebagai basis kekuatan GAM. Namun demikian, rangkaian operasi itu bukan saja tidak berhasil menghancurkan GAM tapi justru sebaliknya membuat kelompok-kelompok bersenjata semakin militan. Bahkan, rangkaian operasi itu telah menghasilkan berbagai efek teror yang melahirkan korban jauh lebih banyak di kalangan masyarakat sipil. PCC menyebutkan bahwa pada masa B.J Habibie tercatat gelombang pengungsian yang paling besar sebagai efek teror yang dilakukan militer pasca DOM.

    Masa pemerintahan Gus Dur mungkin sedikit agak menghibur karena tingkat kekerasan yang terjadi di Aceh menurun. Gus Dur memang lebih mengutamakan dialog untuk penyelesaian Aceh dengan melibatkan Henri Dunant Center (HDC). Salah satu langkahnya adalah dicapainya kesepakatan Jeda Kemanusiaan (humanitarian pause) sejak 2 Juni 2000. Sekalipun relatif efektif mengurangi tindak kekerasan, Jeda Kemanusian belum berhasil menyentuh masalah pokok yang menjadi tuntutan korban pelanggaran HAM dalam mengungkap kasus-kasus kekerasan di Aceh. Selain itu, rasa ketidakadilan masyarakat tetap mencuat karena Gus Dur terkesan mengabaikan aspek kesejahteraan. Pada masa Gus Dur, praktek korupsi mulai merambah ke daerah mewarnai pelaksanaan otonomi daerah. Ironisnya, Gus Dur sendiri terjerat kasus hibah Sultan Bolkiah. Rakyat Aceh pun merasa ditipu lagi!

    Menjelang masa pemerintahannya, Megawati pernah sesumbar “Kalau Cut Nyak memimpin negeri ini, tidak akan saya biarkan setetes darah pun menetes di Aceh”. Sebagaimana BJ.Babibie, Megawati pun menyampaikan permohonan maaf secara terbuka kepada masyarakat Aceh. Dalam pidato emosional di depan masjid besar Banda Aceh, Megawati mengatakan, pemerintah-pemerintah terdahulu memiliki kekurangan dan telah melakukan berbagai kesalahan. Ia minta maaf secara pribadi dan atas nama pemerintah Indonesia, dan menyerukan agar rakyat Aceh memberikan waktu kepada pemerintahannya untuk menyelesaikan persoalan Aceh.

    Lantas, apa yang dilakukan Megawati? Darurat Sipil dan Darurat Militer! Berbekal Keputusan Presiden (Kepres) No.28 tahun 2003, Megawati mengintruksikan Aceh kembali sebagai daerah operasi militer. Koordinator KontraS yang juga salah seorang informan Riset Demos, Usman Hamid, menilai kebijakan yang ditempuh Megawati saat itu sebagai cerminan dari lemahnya pemerintahan sipil yang tidak punya strategi untuk menyelesaikan masalah Aceh dan tidak mampu mencari alternatif lain selain membiarkan kekerasan. “Pemerintah tidak cukup bijak untuk menyadari bahwa upaya merebut simpati rakyat Aceh tidak dapat dicapai melalui jalan kekerasan,” ujarnya.

    Usman juga menambahkan bahwa pemerintah sipil tidak mampu melakukan kontrol atas militer yang lebih powership di Aceh. Bahkan, tampak adanya kesan bahwa pemerintah sipil membiarkan dirinya dikendalikan kepentingan militer. Senada dengan ini, laporan International Crisis Center (ICG) menyebutkan ada petunjuk bahwa TNI, terutama angkatan darat, mengambil manfaat dari konflik berkepanjangan di Aceh sekalipun bukan merupakan hasil kebijakan eksplisit. Pertempuran yang berkepanjangan di Aceh memberi peluang kepada TNI untuk memerankan diri sebagai satu-satunya kekuatan yang mampu mencegah disintegrasi Indonesia, dan oleh karenanya pengaruh politiknya dapat dipertahankan.

    Naiknya SBY ke tampuk kekuasaan disambut dengan sejumput harapan. Namun, belum lagi SBY mengeluarkan “jurus” untuk menangani Aceh, musibah tsunami datang menerjang. Rausan ribu jiwa yang menjadi korban seakan melengkapi tragedi kemanusiaan dan menambah luka lama yang kian menganga. Namun di mata Akhiruddin Mahjuddin, tragedi tsunami selain musibah juga telah memunculkan solidaritas lintas batas, baik lintas agama, suku, bahkan lintas negara. Karena itu, ia berharap SBY dapat menjadikannya sebagai strating point untuk menuju Aceh yang lebih baik. Selain itu, ia juga berharap bahwa dana yang datang begitu melimpah harus benar-benar mendatangkan manfaat bagi rakyat, dikelola secara transparan, akuntabel, bebas dari korupsi, sehingga memunculkan harapan dan kepercayaan publik Aceh. “Kalau terjadi sebaliknya, maka pupuslah sudah kepercayaan rakyat Aceh … untuk selamanya,” ujar Koordinator Gerakan Rakyat Anti Korupsi (GERAK) Aceh ini.

    Harapan yang sama juga dikemukakan aktivis PCC, Asyraf Fuady. Menurutnya, tragedi tsunami 24 Desember 2004 merupakan momentum strategis untuk menumbuhkan trust building sekaligus untuk memberikan rasa keadilan yang kini masih merupakan barang mahal bagi rakyat Aceh. Asyraf menilai, kebijakan SBY mencabut status darurat sipil di tengah prahara musibah tsunami merupakan keputusan yang melegakan. Namun demikian, ia menilai belum ada perubahan signifikan pasca normalisasi Aceh ditetapkan SBY. Pasalnya, militer belum benar-benar ditarik dari Aceh dan bahkan masih tampak dominan. PCC sebagai organisasi kemanusiaan pun masih diliputi ketidaknyamanan dalam hal keamanan. “Semua lembaga masih merasa trauma dan tertekan, termasuk PCC yang bergerak dalam soal kemanusiaan,” ujarnya.

    Berbagai langkah SBY kini mulai diuji. Selain menetapkan normalisasi Aceh dengan mencabut darurat sipil, SBY juga telah membentuk Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR). Tugas ini tentu tak semudah membalik telapak tangan. Karena itu, sudah semestinya segenap komponen bangsa turut mendukung sekaligus mengawasi agar program recoveri Aceh ini berhasil, tidak saja merekonstruksi kerusakan fisik yang porak-poranda akibat tsunami, namun juga mampu memulihkan harapan dan dignitas yang terampas serta menyembuhkan jiwa rakyat Aceh yang sekian lama telah tersiksa. Recoveri Aceh merupakan pertaruhan besar bangsa ini, apakah rakyat Aceh akan tetap memiliki harapan dan masa depan atau mereka tetap merasa tertipu untuk ke sekian kalinya!