Rabu, 08 Mei 2013

KKR


K2HAU Kritisi Lambatnya Pembentukan KKR
Riza Fakri Ismail l The Globe Journal
Senin, 15 Agustus 2011 00:00 WIB
Aceh Utara - Komunitas Korban Pelanggaran Hak Azasi Manusia Aceh Utara (K2HAU) mensinyalir lambatnya pembentukan Komite Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Aceh karena adanya keresahan dari pihak-pihak tertentu. 
“Seharusnya tidak ada yang perlu diresahkan dengan pembentukan KKR ini,” sebut Murtala, Ketua Umum K2HAU kepada The Globe Journal di Krueng Geukueh, Aceh Utara, Senin (15/8).  “Sampai saat inipun pembentukan KKR itu belum jelas juntrungannya,” ujarnya.
Padahal, menurut Murtala, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh pada bulan Desember 2010 lalu pernah berjanji kepada korban dan keluarga korban pelanggaran HAM tersebut, akan mensahkan Qanun KKR pada bulan Juni 2011. “Itu janji DPR Aceh ketika itu. Sampai saat inipun sudah bulan Agustus 2011 belum jelas realisasinya,” tandas Murtala.
Murtala mengatakan, memperingati enam tahun penandatanganan MoU Helsinki, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh dinilai belum ada itikad baik terhadap korban pelanggaran HAM tersebut. “Kita berharap,  dengan peringatan 6 tahun MoU Helsinki, keadilan untuk korban dan keluarga korban pelanggaran HAM segera terwujud. Janji-janji juga harus segera diwujudkan,” ungkap Murtala.
Dia menghimbau, dalam pembentukan KKR tersebut juga harus dilibatkan semua pihak, seperti akademisi, elemen sipil serta korban atau keluarga korban itu sendiri. “Korban juga harus dilibatkan dalam pembentukan KKR itu. Karena cuma mereka yang tahu cocok apa tidak dengan keinginan korban,”

Kenangan Pahit dari Exxon Mobil


Kenangan Pahit dari Exxon Mobil
OPINI |
Sabtu, 08 Oktober 2011 00:00 WIB
TERDIAM tanpa kata. Begitulah suasana hati penulis ketika menyimak berita-berita yang dilansir oleh media tanah air baik lokal maupun nasional tentang keputusan pihak Exxon Mobil melepas semua sahamnya di Aceh. Perusahaan eksplorasi minyak dan gas bumi terbesar dunia asal Amerika Serikat itu melepaskan saham-sahamnya di Mobil Exploration Indonesia Inc, ExxonMobil Oil Indonesia Inc dan Mobil LNG Indonesia Inc yang berlokasi di Aceh. Pelepasan saham-saham ExxonMobil tersebut dikarenakan Blok Aceh dianggap sudah tidak memiliki nilai ekonomis lagi.

Seketika, penulis mencoba menarik lagi ingatan masa lalu ketika Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe begitu dipuja dan dielu-elukan banyak orang karena kekayaan minyak dan gas alamnya. Gelarnya pun tak tanggung-tanggung; Petro Dolar! Sebuah kota yang memiliki penghasilan yang begitu besar karena kekayaan minyak dan gas alam cair di dalam buminya. Aceh selalu diberitakan banyak media karena kekayaan mineral jenis itu. 

Banyak anak muda Aceh yang sedang duduk di bangku kuliah di sejumlah Universitas yang ada di Aceh kala itu bercita-cita ingin bekerja di perusahan-perusahan milik Exxon Mobil tersebut. Bahkan, tak sedikit juga para mahasiswa luar Aceh yang memiliki keinginan serupa. Walaupun, tak mudah bagi intelektual muda Aceh menembus ketatnya pagar betis berkedok kualifikasi dari pihak manajemen tenaga kerja perusahaan-perusahaan tersebut. Alasannya, mahasiswa Aceh tak memiliki kompetensi yang cukup sehingga belum layak diterima bekerja. 

Para lulusan perguruan tinggi Aceh dianggap tidak memiliki pengalaman untuk bekerja disana. Exxon Mobil terkesan rasis, untuk para penduduk yang bermukim di sekitar pabrik pun ditolak untuk menjadi tenaga pemotong rumput. Alasannya sama, tak punya pengalaman. Memotong rumput pun ditanyakan tentang riwayat pekerjaan.

Memang, Gubernur Aceh kala itu Alm. Prof. Dr. Ibrahim Hasan, M.BA. pernah mengeluarkan maklumat bahwa putra daerah Aceh harus diutamakan ketimbang putra daerah lain. Namun, tetap saja hanya sedikit anak muda Aceh yang berhasil lulus uji kelayakan bekerja di Perusahaan Amerika tersebut. Kalau pun banyak orang Aceh di dalam pabrik-pabrik itu pastilah sebagai buruh kontrak atau outsourching saja.
 
Sebenarnya, tulisan ini tak bermaksud mengungkit luka lama Aceh terhadap perusahaan-perusahaan yang menjadi proyek vital di Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe pada masa silam itu. Namun, seiring dengan ucapan selamat tinggal dari pihak Exxon Mobil senada pula kita telah siap menikmati semua kenangan yang ditinggalkannya. Pertanyaannya tentu saja seberapa manis dan pahitkah kenangan-kenangan itu? 

Dalam kesempatan ini penulis sengaja mengangkat kenangan pahitnya saja dalam tulisan ini. Biarlah kenangan manis tersisa di hati kita masing-masing walaupun sebatas kata-kata yang ditulis koran, diperbincangkan dalam konsorsium/seminar, ditonton beritanya di TV, maupun terlihat megahnya bangunan-bangunan proyek vital tersebut kala melintasi kota Lhokseumawe dan daerah Aceh Utara saat menuju Kota Medan.

Habis manis sepah dibuang
Pepatah habis manis sepah dibuang itu untuk menggambarkan langkah meninggalkan Aceh yang diputuskan oleh korporasi Exxon Mobil mungkin saja menimbulkan pro dan kontra.

 “Masalah ini tak perlu dilebih-lebihkan, karena memang Aceh sudah tak memiliki minyak dan gas alam lagi,” 
Bagi mereka yang pernah menikmati mewahnya fasilitas Exxon Mobil pastilah berujar demikian.

 “Tak ada rasa terimakasih sedikit pun, setelah puas menghisap habis madu kami,  dan membunuh banyak saudara kami langsung pergi begitu saja,”kata mereka yang tak dapat apa-apa bahkan dirugikan selama perusahan-perusahan tersebut beroperasi di sekitar tempat tinggal mereka. Lalu, bagaimana dengan orang Aceh yang lain? Apakah kita pernah merasa bangga dan berbusung dada kepada banyak orang di luar daerah kita karena Aceh itu kaya dengan minyak dan gas alam? 

Masyarakat Aceh Utara yang bermukim di sekitar perusahan Exxon Mobil tentu lebih mengerti bagaimana gemerlapnya orang-orang yang ada dalam lingkungan perusahaan minyak dan gas bumi itu. Mereka sekian lama merasakan hidup seperti tamu di kampung mereka sendiri. Hanya santunan ala kadar setahun sekali yang mereka terima dari hasil kekayaan yang diperas dari tanah mereka yang kini sudah tak dianggap apa-apa lagi. 

Exxon Mobil melanggar HAM
Juli lalu Pengadilan Federal Amerika memutuskan, 11 orang korban ExxonMobil dari Aceh bisa menggugat perusahaan minyak itu. Menurut cerita bebebapa rekan penulis yang tinggal di sekitar perusahaan tersebut, Tentara Indonesia yang digaji untuk ExxonMobil pernah membakar rumah warga. Bahkan, ExxonMobil menyediakan tempat khusus di mana tentara bisa melakukan penyiksaan. Kejadian itu semua terjadi di zaman pemerintah presiden Abdurrahman Wahid. Waktu itu ada operasi yang disebut operasi pemulihan keamanan yang dipimpin di lapangan oleh Mayjend Jalil Yusuf.

Saat itu, lapangan-lapangan besar di Aceh seperti di Kecamatan Matangkuli, Kecamatan Tanah Luas, Kecamatan Lhok Sukon dan lain-lain digunakan untuk penyiksaan. Pelakunya adalah pasukan elit Kopassus.

Banyak aktivis pembela HAM saat itu dicari oleh para tentara yang mengawal Exxon Mobil karena mereka berusaha membela para penduduk di sekitar perusahaan yang mengalami tindak kekerasan. Para aktivis tersebut dianggap berbahaya sehingga perlu dibungkam agar tak menyebarkan informasi yang dapat merendahkan reputasi Exxon Mobil di mata international.

Exxon Mobil bukan hanya melanggar Hak-hak Asasi Manusia (HAM), tapi juga merusak lingkungan. Sebagai contoh dapat dirasakan langsung oleh masyarakat disana bagaimana pencemaran air dan gangguan debu yang sangat mengganggu kehidupan sehari-hari. Debu-debu itu seolah-olah telah menjadi bahan konsumsi pokok masyarakat yang bermukim disana.


Kesalahan Pemerintah Pusat dan harapan pada pemimpin baru
Keleluasaan perusahaan asing melakukan ekplorasi sumber daya alam di wilayah Indonesia umumnya disebabkan oleh lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah pusat yang ada di Jakarta. Budaya korupsi yang sudah lama mengakar di lingkungan pemerintahan kita sepertinya menjadi celah besar yang dimanfaatkan dengan baik oleh orang-orang asing tersebut.

Kini, Aceh harus menanggung derita yang mungkin berupa bencana ekologi yang panjang karena kerakusan para oknum pengambil kebijakan di tingkat pusat di masa lalu. Kesalahan pemerintah pusat tersebut harusnya tidak lagi terulang di daerah-daerah lain di Indonesia. Cukup sudah Aceh yang menjadi korban, karena Aceh dan masyarakat yang ada di wilayahnya selalu dijadikan tumbal bagi kenyamanan sekelompok orang yang bertindak karena alasan demi kemakmuran kita. Pada hal, masyarakat Aceh hanya merasakan penderitaan dan penderitaan tanpa henti. 

Harapan kita semua adalah melihat Aceh makmur dengan lahirnya pemimpin baru yang amanah dan memiliki niat tulus membangun Aceh lebih baik. Pemimpin yang akan selalu ada ketika masyarakat Aceh butuh pembelaan karena hak-hak mereka dirampas oleh orang asing. Aceh sudah begitu rindu disentuh oleh tangan yang suci hatinya, bukan tangan jahil yang hanya bisa melukai hati bumi Aceh. Semoga harapan kita semua terpenuhi. Semoga.

TNI dan Exxon Mobil melanggar HAM




http://theannoyingmouse.blogspot.com/2012/10/benarkah-exxon-membayar-pelaku.html
Pada pagi hari tanggal 21 Maret 2001, bel pintu berbunyi di lantai sembilan gedung di Washington, DC, pada Forum International Labor Rights, sebuah kelompok advokasi bagi pekerja yang terkena dampak globalisasi ekonomi. Dari muka pintu seorang asing muda muncul berbicara tidak dalam bahasa Inggris tetapi bahasa Indonesia.

Namanya adalah Mohammed Saleh, dan dia adalah seorang aktivis mahasiswa yang mewakili sebuah kelompok hak asasi manusia yang kecil di Aceh, Indonesia. Pemerintah Indonesia memenjarakan pemimpin kelompok itu, Muhammad Nazar, untuk advokasi referendum kemerdekaan Aceh. Jadi Nazar mengatur Saleh ke Washington, DC, untuk memberitahu orang Amerika tentang krisis Aceh.

Salah satu staf Forum ini, Bama Athreya, yang kebetulan bisa berbahasa Indonesia saat bekerja di Jakarta, menyambut Saleh. Dia pernah bertemu dengannya sebelumnya dan ia menceritakan kisah disampaikan oleh penduduk desa yang tinggal dekat ExxonMobil.  
Sampai di lantai 9, Athreya memperkenalkan Saleh kepada Collingsworth, putra seorang penjaga toko di sebuah pabrik tembaga di Cleveland dan mantan operator mesin di pabrik. Collingsworth tumbuh menjadi pengacara perburuhan. Di sekolah hukum ia mengembangkan minat dalam isu-isu hak asasi manusia. Kasus UNOCAL adalah salah satu kasus besar pertamanya.

Ketika Saleh tiba, Collingsworth membawanya ke ruang konferensi. Dengan Athreya sebaga penerjemah, ia mendengarkan pemuda itu bercerita tentang kekejaman yang terjadi di Aceh, dan dugaan peran pasukan keamanan ExxonMobil. Dalam waktu seminggu, Collingsworth berada di pesawat terbang ke Indonesia.

sumber :motherjones.com/theglobejournal.com