Sabtu, 20 April 2013

CUT NYAK DHIEN


Mengapa Harus Kartini ? Padahal Cut Nyak Dhien Lebih Pantas Untuk Di Jadikan Panutan Demi Mengusir Belanda !

- Jika Anda Cinta Pahlawan Aceh Cut Nyak Dhien Mari Kita Share Tulisan Ini Ke FB Sahabat Anda.

* Di Aceh kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Keraj
aan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati. Aceh juga pernah dipimpin oleh Sultanah (sultan wanita) selama empat periode (1641-1699). Posisi sulthanah dan panglima jelas bukan posisi rendahan.

- Mengapa setiap 21 April, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?

Kabar ACEH Pada dekade 1980-an, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsya W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik pengkultusan R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia. Tahun 1988, masalah ini kembali menghangat, menjelang peringatan hari Kartini 21 April 1988. Ketika itu akan diterbitkan buku Surat-Surat Kartini oleh F.G.P. Jacquet melalui penerbitan Koninklijk Institut voor Tall-Landen Volkenkunde (KITLV).

Tulisan ini bukan untuk menggugat pribadi Kartini. Banyak nilai positif yang bisa kita ambil dari kehidupan seorang Kartini. Tapi, kita bicara tentang Indonesia, sebuah negara yang majemuk. Maka, sangatlah penting untuk mengajak kita berpikir tentang sejarah Indonesia. Sejarah sangatlah penting. Jangan sekali-kali melupakan sejarah.

Kini, kita juga bisa bertanya, Mengapa harus Kartini? Ada baiknya, kita lihat sekilas asal-muasalnya. Kepopuleran Kartini tidak terlepas dari buku yang memuat surat-surat Kartini kepada sahabat-sahabat Eropanya, Door Duisternis tot Licht, yang oleh Armijn Pane diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku ini diterbitkan semasa era Politik Etis oleh Menteri Pengajaran, Ibadah, dan Kerajinan Hindia Belanda Mr. J.H. Abendanon tahun 1911. Buku ini dianggap sebagai grand idea yang layak menempatkan Kartini sebagai orang yang sangat berpikiran maju pada zamannya. Kata mereka, saat itu, tidak ada wanita yang berpikiran sekritis dan semaju itu.

Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fa -timah dari Aceh, klaim-klaim ke terbe lakang an kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita.

Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.

Bayangkan, jika sejak dulu anak-anak kita bernyanyi: Ibu kita Cut Nyak Dien. Putri sejati. Putri Indonesia..., mungkin tidak pernah muncul masalah Gerakan Aceh Merdeka. Tapi, kita bukan meratapi sejarah, Ini takdir. Hanya, kita diwajibkan berjuang untuk menyongsong tak dir yang lebih baik di masa depan. Dan itu bisa dimulai dengan bertanya, secara serius: Mengapa Harus Kartini? 

NANGOE LONG SAYANG


  • ACEH LONG SAYANG  ,DALAM HUDEP  RELA  TAKURBEUN DARAH HARTA PIKIRAN  JIWA DAN NYAWOENG , UNTOEK TANOEH PUSAKA                           INDATUE TEUH , 

 
ATJEH NANGROE  PUSAKA  

Jumat, 19 April 2013

bendera aceh










TRAGEDI KEKERASAN DI ACEH

ACEH DARURAT MILITER




Penyisiran Oleh TNI Diperkampungan Penduduk


PELABUHAN  KRUKUEH
Pengiriman Pasukan Besar-Besaran Di Aceh


Penyisiran Tugas Rutin Oleh TNI


Pengirimanan Personil TNI AL Terdiri Atas Marinir ke aceh  


Operasi jaring Merah Oleh KOPASUS  ke aceh  yang banyak  melangar  hak  asasi  manusia 


 PENGEPUNGAN PAYA COET TRING  OLEK TNI
Kontak Senjata Di Kawasan Basis GAM


Operasi Penyisiran Dilakukan Oleh TNI Operasi Rutin Makanan Sehari-hari  membunuh  bangsa aceh 


Peristiwa Berdarah dan Memilukan TRAGEDI SIMPANG KKA Tidak Jelas TNI MENYERANG MEMBABI BUTA terhadap Warga


Targedi Berdarah Membabi Buta Menyerang Warga Tak Berdosa  yang tak ada perlawanan  


Tragedi Berdarah Simpang KKA " Korban Berjatuhan, TNI Meninggalkan Korban Begitu Saja Setelah Menyerang Membabi Buta Warga tak berdosa


Peristiwa Tgk Bantaqiah Cs Seorang Ulama Kharismatik Pemimpin Pondok Pesantren Di Nagan Raya, Tidak Jelas Apa Sebab Penyerangan Itu, Ketika Penyerangan Tidak Ada Perlawanan Sedikitpun. Tgk Bantaqiah Ditembak Dengan Posisi Berdiri Bersimbah darah, Para Korban Sebagian Dihabisi Di Perjalanan Menuju Markas


Kontak Senjata TNI Vs GAM


Kekerasan Terhadap Aktivis Peduli Nasib Rakyat aceh  yang di tindas  dengan sadis


Operasi Laba-Laba


Kekerasan Oleh Personil Polri Semasa Darurat Militer


Operasi Rutin Sehari-hari TNI Semasa Konflik Aceh


tragdei berdarah Simpang kka 03 Mei 1999 pembantaian brutal terhadap warga yg tak berdosa


Penyerangan Membabi Buta Terhadap warga yg tak berdosa


Peringatan Peristiwa Simpang KKA 03 Mei 1999 oleh Warga


Tuntutan Masyarakat Korban Peristiwa Simpang KKA


acara  silaturahmi GAM 




Kontak Senjata GAM Vs Pasukan TNI Polri

Damailah Acehku, Damailah Negeriku, "Mari Membangun Aceh Kembali

TRAGEDI BEUTONG ATEUH OLEH TNI

Tragedy pembatian tgk Bantaqiah;                                tragedi beutong  ateuh  di aceh oleh TNI 


Oleh Andi Firdhaus)*

“Pembantaian massal terhadap Tengku Bantaqiah di Beutong Ateuh pada 23 Juli 1999 adalah peristiwa memilukan dari serangkaian tragedy kekerasan yang ada di Aceh”

Berawal dari kutipan di atas, saya mencoba mengingat kembali hakibat perdamaian tanpa maksud memprovokasi iklim politik dan perdamaian yang sedang berlangsung di Aceh. Tulisan ini hanya semata-mata mengingat kembali tragedy yang membuat nurani keislaman kita terhentak, lalu kemanusiaan sepertinya mati dan semua diam tanpa berani mengeluarkan aspirasi perlawanan ketika itu.

Kini setelah sebelas tahun yang lalu. Orang-orang yang sebelumnya menjadi ‘merah’ di mata penguasa (baca:pemerintah) berubah menjadi penguasa baru pasca angin perdamaian berhembus dari Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005. Iklim dan suhu perpolitikan Aceh berubah drastis terutama menurunnya eskalasi kekerasan.

Pasca Helsinki pula denyut langkah penggerak ekonomi leluasa berpikir dan bertindak, termasuk rehabilitasi dan rekonstruksi yang diperankan banyak lembaga (local dan internasional). Perebutan otoritas politik dengan pemilihan umum telah melahirkan generasi baru dalam menguasai eksekutif dan legislatif. Aceh benar-benar berubah?

Ya bila dilihat dari ‘pertukaran’ orang yang sebelumnya sebagai pemimpin gerilya menjadi pemimpin penguasa. Memang harus diakui, bahwa lebih sulit memimpin birokrasi pemerintahan tinimbang menyulut api pemberontakan. Nur Misuari, mantan Gubernur Autonomous Region of Muslim Mindanao (ARMM) adalah contoh kasus yang membuat dia hengkang dari kursi gubernur lalu dipenjara.

Tetapi, selain perubahan iklim politik tersebut ada segudang agenda kemanusiaan yang perlu diluruskan dan tentu diteruskan kepada generasi selanjutnya. Mengingatkan kembali sejarah sebelas tahun yang lalu, bahwa Aceh berada dalam pusaran hitam kekejaman, kebiadaban, kekerasan dan tanpa nurani kemanusiaan.

Kenapa? Jangan sampai otak kita picik melihat situasi masa lalu dengan terus menggemakan perdamaian yang seolah-olah menjadi ‘hantu’ yang selalu di puja-puja sementara masa lalu ditutup rapat-rapat seakan tak pernah terjadi apapun di bumi tanah rencong ini. Kemudian perdamaian menjadi alat untuk membungkam sikap kritis dan pembongkaran sejarah hitam yang kelam karena dianggap sensitive dalam membangun perdamaian. Lalu kita larut dan terlena seakan tak terjadi apapun di tanah ini.

Tentu, generasi kita bukanlah generasi munafik. Generasi yang menikmati hasil dari kekejaman atas serangkaian tragedy yang memilukan. Kemudian berleha dan menari seakan perdamaian adalah hakikat dari segalanya. Kita perlu menyadari, bahwa damai itu terjadi karena ada perang dan damai itu pula seharusnya untuk tujuan keadilan.

Tsunami adalah titik awal melahirkan kesadaran untuk merajut kembali asa yang selama 32 tahun hilang ditambah keterlibatan semua pihak mendorong terjadinya proses perdamaian dengan menguras pikiran. Selain itu pengorbanan para syuhada yang haram dilupakan dan kini mereka tinggal pusara setelah mengorbankan nyawa demi kita.

Mereview kembali ungkapan yang dilontarkan mantan Juru Bicara GAM, Sofyan Daud dalam film documenter karya Williams Nessen, The Black Road bahwa kita tak boleh melupakan sejarah dan sejarah itu pula yang membuat bangsa kita (Aceh) berani melawan setiap kekejaman dan penindasan yang terjadi. Jika sejarah dilupakan, maka bangsa Aceh menjadi pengecut.

Ungkapan tersebut benar dalam kontek membangkitkan semangat perlawanan. Menyulut api pemberontakan untuk sesuatu yang sedang diperjuangakan. Tapi dalam kontek tanpa perang—dalam kondisi damai seperti sekarang—maka yang perlu disemburkan adalah perlawanan atas ketidakadilan. Dan itu pula yang membuat perdamaian bermakna bagi peradaban kemanusiaan setelah sebelumnya sekian lama berperang.

Mengingat Tragedi Bantaqiah

Tidak sedikit korban pembantaian saat operasi militer Indonesia ke Beutong Ateuh, Aceh Barat., jumlah korban tewas sebanyak 55 orang. Dengan jumlah tersebut, sepertinya generasi sekarang harus tahu, sebab pengetahuan sejarah semacam itu tidak tercantum dalam buku yang mereka pelajari di sekolah sesuai kurikulum.

Dalam buku yang ditulis Dyah Rahmany P dengan judul “Matinya Bantaqiah”, yang diterbitkan CARDOVA menceritakan, Ulama itu tersungkur setelah mendapat tembakan timah panas yang merobek perutnya, tembakan kedua dan ketiga menyusul. Hampir bersamaan rentetan tembakan lainnya secara beruntun kepada lelaki-lelaki yang berada dalam posisi jongkok dan rebah secara bertindihan.

Kejadian ini berlangsung singkat di sebuah Dayah Babul Mukaramah milik Tengku Bantaqiah yang sederhana. Secara geografis, dayah tersebut terletak sekitar 300 kilometer dari Banda Aceh, dan letaknya berada di pedalaman gunung Singgah Mata dengan diapit Gunung Abong-Abong dan Gunung Tangga.

Pada malam itu juga, warga setempat diminta oleh tentara untuk menguburkan semua mayat. Sebanyak 24 mayat dikuburkan dalam satu lobang dan tujuh mayat lainnya dkuburkan di lobang lain setelah warga menggali lobang yang baru. Sedangkan 18 orang lainnya disantera kemudian dibawa dengan truk menuju arah Takengon, Aceh Tengah.

Selain di Dayah, ternyata mayat-mayat lainnya berceceran di sepanjang jalan menuju Takengon. Di kilometer 7 pinggir jalan Ulle arah Takengon pada 25 Juli 1999, warga menemukan 5 mayat tanpa dikenali identitas. Sedangkan di kilometer 8 warga juga menginformasikan adanya 15 mayat. Muka hancur, dan kondisi mayat rata-rata tanpa pakaian.

Mengapa perlu mengingatnya? Sebagai sebuah kesadaran sejarah maka tragedy tersebut adalah nestapa kemanusiaan yang amat berat. Dengan jumlah korban tewas 55 orang tentunya meningglkan bekas luka yang teramat dalam. Terutama bagi keluarga dan anak-anak yang menjadi yatim. Terlebih lagi jika mengingat lunturnya solidaritas sesama Muslem lainnya di Aceh dalam merespon bersikap ‘diam’ atas tragedy tersebut.

Menurut Otto Syamsuddin Ishak, yang kini sebagai peneliti senior Imparsial, kejadian tersebut adalah penghancuran resistensi budaya dan Agama di Aceh; Negara sebagai kekuatan dari luar Aceh dan Ulama sendiri sebagai penghancur dari dalam. Negara menggunakan tangan militernya, dan ulama mengeluarkan fatwa penghujatan sebagai sesat. Sehingga inilah yang perlu direfleksikan ke dalam konteks kekinian agar kita selalu sadar dan agama tidak dijadikan alat untuk kepentingan politik.

Bagaimana dengan penegakan hukum dan keadilan? Pelaku disidangkan dalam perkara sidang koneksitas tanpa terpenuhi rasa keadilan bagi korban. Bahkan pelaku utama Letkol Sudjono yang disebutkan menghilang. Hingga menimbulkan ketidakpercayaan rakyat Aceh yang menganggap sidang tersebut menambah daftar impunity atau kekebalan hukum—pembiaran pelaku bebas tanpa mendapat hukuman sesuai perbuatannya.

Namun, melihat realitas saat itu tak sedikit mahasiswa dan aktivis LSM melakukan unjukrasa sebagai bentuk kekecewaan atas penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Sehingga melakukan terobosan membawa kasus tersebut ke pengadilan Internasional. Hal ini sesuai dengan Rome Treaty (perjanjian Roma) yang mengatur International Criminal Court (Mahkamah Pidana Internasional).

Menurut sejumlah aktivis HAM ketika itu, pengadilan internasional dimungkinkan jika peradilan nasional tidak efektif dan independen dalam mengadili suatu kasus pelanggaran HAM. Sesuai dengan ICC yang digagas PBB Nomor 9 Desember 1948 dengan mengacu pada Resolusi PBB Nomor 260, merupakan pengadilan internasional yang bisa menuntut beberapa kejahatan kemanusian, perang, genosida, dan kejahatan agresi. Tapi semua rencana tersebut dan usaha yang dilakukan para aktivis hingga kini berujung pada NOL.

Kesimpulan

Tragedi Tengku Bantaqiah adalah salah satu dari sekian kasus pembantaian yang terjadi di Aceh yang hingga kini tidak jelas juntrungnya. Sebut saja tragedy PT Bumi Flora, Simpang KKA, Gedung KNPI, Rumoh Geudong, Simpang Kandang, Pusong dan tragedy Tutue Arakundoe. Dengan sejumlah tragedy tersebut, perlukah kita menutup rapat-rapat pada generasi penerus untuk alasan menjaga perdamaian? Atau perdamaian yang diinginkan hanya sebatas berjabat tangan pihak bertikai sementara keadilan bagi korban masih membekas tanpa mendapat keadilan?

Dalam konteks Aceh, bertepatan peringatan hari anak nasional pada 23 Juli 2010 beberapa waktu yang lalu sudah saatnya kesadaran kita tergugah untuk merevie kembali nilai-nilai solidartitas dan kemanusiaan yang tercabik. Termasuk anak yatim hasil ‘produksi’ negara dalam sebuah kekejaman Beutong Ateuh itu yang sepatutnya mendapat tempat utama dalam merenung makna hari anak nasional dalam kondisi perdamaian Aceh.

Tulisan ini sekali lagi tidak berniat membuat perdamaian yang telah dirajut menjadi ternoda. Namun hakikat dan makna perdamaian bagi korban minimal tidak dilupakan bagi generasi selanjutnya dan petinggi dan elit Aceh sekarang. Sebab masih ada anak yatim dan janda yang butuh uluran tangan yang perlu terus diperhatikan. Tanpa terlebih dulu ber-eforia dalam singgasana dan kenikmatan yang sekejab baru didapatkan. Beutong, tanparan bagi kemajuan peradaban kemanusian kita di Aceh. Semoga!


*) Tulisan ini pernah dimuat di halaman Fokus Koran Harian Aceh

*) Alumnus Mindanao Peacebuilding Institute (MPI) Filipina

Kamis, 18 April 2013

http://www.cmi.fi/activities/past-projects/aceh-1/aceh-negotiations-in-2005

 GAM  DAN REPOBLIK INDONESIA  TANDA TANGAN  MOU HELSINGKI
                                           TRAGEDI SIMPANG KKA  DI  ACEH UTARA  
TRAGEDI PEMBANTAI  SIMPANG                 KKA   PELANGARAN HAM  OLEH  TNI  
                                    SIMPANG   KKA  OLEH TNI   TENTRA INDONESIA 
                           EVALUASI  KORBAN  TRAGEDI SIMPANG KKA  ACEH UTARA
                              TRAGEDI   SIMPANG KKA   KEBIADABAN SISTIM TNI 

http://www.cmi.fi/activities/past-projects/aceh-1/aceh-negotiations-in-2005


                                       T  MOU HELSINGKI  GAM dan INDONESIA 
                        PEMBANTAIAN OLEH  TNI DI  SIMPANG KKA  ACEH UTARA 

                         DEPAN KANTOR DPR ACEH   QUNUN  PEMERINTAH SENDIRI DI ACEH 

Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka menandatangani perjanjian damai pada tanggal 15 Agustus setelah proses negosiasi yang difasilitasi oleh CMI dan Ketuanya, Presiden Ahtisaari.

Nota Kesepahaman mencakup topik-topik berikut: Pemerintahan Aceh (termasuk undang-undang tentang yang memerintah Aceh, partisipasi politik, ekonomi, dan penegakan hukum), hak asasi manusia, amnesti dan reintegrasi ke dalam masyarakat, pengaturan keamanan, pembentukan Aceh Monitoring Misi, dan penyelesaian sengketa. Pemerintah Indonesia mengundang Uni Eropa dan sejumlah negara ASEAN untuk melaksanakan tugas-tugas Misi Monitoring Aceh.

Perjanjian telah membawa perkembangan yang signifikan di Aceh, termasuk Pemerintah Indonesia menarik militer non-organik dan polisi dari Aceh dan Gerakan Aceh Merdeka melakukan decommissioning semua persenjataan dan demobilisasi pasukan dalam proses paralel dengan penarikan non- pasukan militer dan polisi organik, pemberian amnesti kepada anggota GAM dan tahanan politik dan berlakunya undang-undang baru untuk Pemerintahan Aceh. Perjanjian tersebut juga meramalkan pembentukan Misi Monitoring Aceh (AMM) oleh Uni Eropa dan lima negara ASEAN yang ikut serta untuk memantau pelaksanaan perjanjian.

Dalam pernyataan bersama mereka setelah putaran kelima perundingan, pihak menyatakan bahwa mereka "menegaskan komitmen mereka untuk damai, menyeluruh, berkelanjutan dan dalam konflik di Aceh dan bermartabat bagi semua. Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia. Para pihak sangat yakin bahwa hanya dengan penyelesaian damai atas konflik tersebut yang akan memungkinkan pembangunan kembali Aceh pasca bencana tsunami pada 26 Desember 2004 mencapai kemajuan dan keberhasilan. Para pihak yang berkonflik berkomitmen untuk membangun saling kepercayaan dan keyakinan. "

Krisis Management Initiative dan Ketuanya, Presiden Ahtisaari, telah diminta untuk memfasilitasi pembicaraan antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Sebuah perundingan putaran pertama, pertama pertemuan tatap muka antara pihak sejak Mei 2003, dilangsungkan pada tanggal 27-29 Januari 2005 di Helsinki. Putaran kedua pembicaraan berlangsung pada tanggal 21-23 Februari, putaran ketiga pada 12-16 April dan keempat pada 26-31 Mei. Di antara putaran keempat dan kelima, CMI menyiapkan rancangan Nota Kesepahaman, yang membentuk dasar dari diskusi selama putaran kelima. Putaran kelima perundingan diadakan dari 12-17 Juli. Perjanjian ini ditandatangani pada 15 Agustus 2005.

Crisis Management Initiative yang terlibat dalam tahap implementasi perjanjian dengan menjadi bagian dari mekanisme penyelesaian sengketa disepakati dalam Nota Kesepahaman, yang menyatakan bahwa Ketua Dewan Crisis Management Initiative akan dipanggil untuk sengketa jika mereka tidak dapat diselesaikan antara pihak dan Kepala Misi Monitoring.

Proses negosiasi difasilitasi oleh dukungan finansial dari Komisi Eropa Mekanisme Reaksi Cepat dan Pemerintah Belanda, dan keuangan dan dukungan yang baik dari Pemerintah Finlandia. Keterlibatan CMI dalam mekanisme penyelesaian sengketa yang didanai oleh Komisi Eropa Rapid Reaction Mechanism dan Pemerintah Swiss dan Norwegia.

Perkembangan

27-29 Januari 2005: Proses negosiasi dimulai dengan Crisis Management Initiative memfasilitasi pembicaraan pertama antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka setelah terjadinya bencana tsunami Desember 26 2004.

15 Agustus 2005: Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka menandatangani kesepakatan damai (Memorandum of Understanding) di Helsinki setelah lima putaran negosiasi. Misi pemantauan dimulai Kehadiran Pemantauan awal nya.

15 September 2005: The Aceh Monitoring Mission - dikerahkan oleh Uni Eropa, Norwegia, Swiss, Thailand, Filipina, Singapura, Malaysia dan Brunei Darussalam - itu digeber untuk memantau pelaksanaan Nota Kesepahaman.

31 Desember 2005: Gerakan Aceh Merdeka menyelesaikan penyerahan senjata dan Pemerintah Indonesia menyelesaikan penarikan pasukan dari Aceh, seperti yang disepakati dalam Nota Kesepahaman.

11 Juli 2006: Parlemen Republik Indonesia mengeluarkan UU baru tentang Pemerintahan Aceh.

15 Agustus 2006: Peringatan satu tahun dari perjanjian perdamaian dirayakan di Aceh. Presiden Ahtisaari, Direktur Eksekutif CMI Ms Arola dan staf CMI lainnya menghadiri.

Senin, 15 April 2013

hidup akan mati ,


Jika bendera Aceh dilarang berkibar di negeri Indonesiat tepatnya di Negeri Aceh, nyatalah sudah bahwa GAM berjuang membela Agama dan Bangsa dari Kafir laknatullah . dan pembajakan ini sudah kami sadari sejak proklamasi indonesia yang di bajak oleh sukarno hatta . sekarang pembajakkan itu mulailah menonjolkan diri pada publik, wahai muslim di Indonesia sadarlah akan sejarah yang silam, Aceh telah banyak berbuat terhadapa Indonesia, Demi Indonesia  Aceh telah mengorbankan segalanya, harta, jiwa, dan negera Aceh sendiri yan telah lama berdaulatpun di korbankan hanya untuk melindungi seluruh umat untuk hidup dalam aturan  ke islaman . tapi apapun yang telah di lakukan oleh Rakyat Aceh belum mampu membuka mata muslim indonesia. walau kalain anggap kami seperatis ataupun berkianat , kami tidak akan peduli, kami akan terus berjuang agar hukum ALLAH  utuk  seluruh rakyat supaya berlindung di bawah payung hukum Allah yaitu Syariat Islam.

tujuan ke islaman di aceh


Kepada seluruh Rakyat Indonesia, Mohon pikir dan renungkan sekejap, terutama yang se-Iman dengan kami bangsa Aceh.

1. Kenapa kami memberontak ? Aceh berikan Air Susu untuk Indonesia, tapi Indonesia balas air tuba, kalian sendiri pasti akan menjerit seakan merobek langit.

2. Kenapa kami berjuang ? Orang tua kami berjuang untuk memerdekakan Indonesia, tapi setelah merdeka, hadianya dari Indonesia untuk pejuang Aceh adalah DOM (daerah operasi militer), jika kalian yang rasakan, pasti kalian akan berteiak dengan lentang Merdeka...Merdeka...Merdeka. karena setiap jiwa pasti ingin merdeka.

3. Apakah TNI syahid ?? tidak ada dalil yang mengatakan membunuh saudara seiman itu syahid, apalagi hampir seluruh Ulama di Aceh di bantai. hanya nekara tempatnya. 

4. Apakah Aceh Syahid ? ya karena Aceh berjuang atas ketidak adilan saudaranya yang ditindas,  dan niat kami ingin Aceh menjadi wilayah Syariat Islam seutuhnya sesuai dengan janji sukarno, bukankan janji itu hutang, hutang dibayar dengan darah oleh Indonesia, sebodoh-bodoh manusia dia pasti akan menuntu balas, Qhisas!!!
5. Untuk Saudara kami seIman seluruh Indonesia, jika kalian masih punya Iman datanglah ke Aceh dengan busana yang sopan, dan lihatlah apa yang terjadi ? tapi jangan bersedih hati, karena kami sendiri tidak bersedih hati. bersyukurlah semua ini sudah ketentuan Allah.

6. Apakah Tsunami adalah bencana untuk bangsa Aceh ???? Tsunami bukan benjana, bukan juga murka Allah terhadap Aceh, melaikan kejahatan Pemerintah Indonesia yang menjual Aceh kepada America, Tsunami yang kalian lihat itu adalah rekayasa bom nuklir di dasar laut Aceh atas kerjasama dengan Amerika untuk meratakan Aceh dalam rangka mensejahterakan Hindunesia. bukan kata saya tapi anda juga melihat keajaiban Allah dibumi Aceh, jika Allah turunkan AzapNya di bumi maka bumi maka ratalah semua.  dan kami juga bersyukur atas ujian yang diberikan Allah semata untuk membangunkan kami dari tidur. Syukur Allah SWT masih sayang pada kami. lihat di google buktinya.

7. Kenapa Aceh enggan untuk mengalah ? dunia mencatat Belanda kalah perang dengan Aceh, tapi dengan indonesia kami memilih damai, karena kami paham tidak baik bermusuhan dengan sesama muslim. dan kami juga bukan malaikat, kami hanya manusia biasa yang punya batas kesabaran. kalau terus di tipu berpuluhan tahun lamannya, anda sendiripun murka. dan hanyalah Allah yang lebih tahu.

8. Kenapa tidak ikuti kemauan pusat ?? jika kami percaya kami sayangkan Aceh, Indoneisa dan Islam, akan dijual kepada orang kafir dan kafir akan sangat mudah masuk ke indoensia dan membantai Umat Islam di seluruh Indoneisa. karena kafir tahu tiang daripada agama Islam di Indonesia adalah Aceh, itu sebab kami tidak ingin tunduk dan percaya kepada pemerintahan, kalianpun sendiri merasakan apa yang dilakukan oleh pemerintahan kita terhadap Rakyat.

9. Apakah kami membenci Indoensia, tidak ada ibu yang membenci anaknya. indonesia lahir dari Izin Allah terhada pejuang Aceh. penembakan rakyat jawa kemarin itu hanyalah politik belaka, dan gerakan Mujahidin di Aceh juga politik Indonesia untuk segenggam uang dari kafir, pemerintah pusat selalu gagal setiap misi buruknay di Aceh, karena hanya Allahlah penolong kami bangsa Aceh. kalianpun tahu apa itu misi densus 88 ? kalian juga melihat siapa yang di bantai. kami seduh dari dulu merasakannya. tapi kalian menutup mata, dan kuping.

10. Hanya Allah yang lebih tahu apa yang sedang di perjuangan oleh rakyat Aceh, dan semoga Allah memberikan kesempatan dan mengizinkan kami untuk terus berjuang mengwujudkan cita-cita moyang kami untuk Negera Islam Aceh.

11. Jika Aceh pisah dengan Indonesia, Jika kami nantinya bangkit kembali, maka sejarah Islam di Nusantara akan kembali berjaya. seluruh negera Islam melirik ke Aceh, dan hal itu menjadi hantu bagi pemerintah Hindunesia. Ingat dgn baik dan untuk seluruh Muslim di Indonesia kami ucapkan Assalmau'alaikum Warahmatullahhibarakatu.

@Sila dibagi-bagikan agar muslim di Indonesia paham tentang perjuangan Aceh, janga sampai salah menilai saudara sendiri.

dukungan untuk bangsa aceh

proses bendera aceh dari seluruh bangsa aceh