Jumat, 19 April 2013

TRAGEDI BEUTONG ATEUH OLEH TNI

Tragedy pembatian tgk Bantaqiah;                                tragedi beutong  ateuh  di aceh oleh TNI 


Oleh Andi Firdhaus)*

“Pembantaian massal terhadap Tengku Bantaqiah di Beutong Ateuh pada 23 Juli 1999 adalah peristiwa memilukan dari serangkaian tragedy kekerasan yang ada di Aceh”

Berawal dari kutipan di atas, saya mencoba mengingat kembali hakibat perdamaian tanpa maksud memprovokasi iklim politik dan perdamaian yang sedang berlangsung di Aceh. Tulisan ini hanya semata-mata mengingat kembali tragedy yang membuat nurani keislaman kita terhentak, lalu kemanusiaan sepertinya mati dan semua diam tanpa berani mengeluarkan aspirasi perlawanan ketika itu.

Kini setelah sebelas tahun yang lalu. Orang-orang yang sebelumnya menjadi ‘merah’ di mata penguasa (baca:pemerintah) berubah menjadi penguasa baru pasca angin perdamaian berhembus dari Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005. Iklim dan suhu perpolitikan Aceh berubah drastis terutama menurunnya eskalasi kekerasan.

Pasca Helsinki pula denyut langkah penggerak ekonomi leluasa berpikir dan bertindak, termasuk rehabilitasi dan rekonstruksi yang diperankan banyak lembaga (local dan internasional). Perebutan otoritas politik dengan pemilihan umum telah melahirkan generasi baru dalam menguasai eksekutif dan legislatif. Aceh benar-benar berubah?

Ya bila dilihat dari ‘pertukaran’ orang yang sebelumnya sebagai pemimpin gerilya menjadi pemimpin penguasa. Memang harus diakui, bahwa lebih sulit memimpin birokrasi pemerintahan tinimbang menyulut api pemberontakan. Nur Misuari, mantan Gubernur Autonomous Region of Muslim Mindanao (ARMM) adalah contoh kasus yang membuat dia hengkang dari kursi gubernur lalu dipenjara.

Tetapi, selain perubahan iklim politik tersebut ada segudang agenda kemanusiaan yang perlu diluruskan dan tentu diteruskan kepada generasi selanjutnya. Mengingatkan kembali sejarah sebelas tahun yang lalu, bahwa Aceh berada dalam pusaran hitam kekejaman, kebiadaban, kekerasan dan tanpa nurani kemanusiaan.

Kenapa? Jangan sampai otak kita picik melihat situasi masa lalu dengan terus menggemakan perdamaian yang seolah-olah menjadi ‘hantu’ yang selalu di puja-puja sementara masa lalu ditutup rapat-rapat seakan tak pernah terjadi apapun di bumi tanah rencong ini. Kemudian perdamaian menjadi alat untuk membungkam sikap kritis dan pembongkaran sejarah hitam yang kelam karena dianggap sensitive dalam membangun perdamaian. Lalu kita larut dan terlena seakan tak terjadi apapun di tanah ini.

Tentu, generasi kita bukanlah generasi munafik. Generasi yang menikmati hasil dari kekejaman atas serangkaian tragedy yang memilukan. Kemudian berleha dan menari seakan perdamaian adalah hakikat dari segalanya. Kita perlu menyadari, bahwa damai itu terjadi karena ada perang dan damai itu pula seharusnya untuk tujuan keadilan.

Tsunami adalah titik awal melahirkan kesadaran untuk merajut kembali asa yang selama 32 tahun hilang ditambah keterlibatan semua pihak mendorong terjadinya proses perdamaian dengan menguras pikiran. Selain itu pengorbanan para syuhada yang haram dilupakan dan kini mereka tinggal pusara setelah mengorbankan nyawa demi kita.

Mereview kembali ungkapan yang dilontarkan mantan Juru Bicara GAM, Sofyan Daud dalam film documenter karya Williams Nessen, The Black Road bahwa kita tak boleh melupakan sejarah dan sejarah itu pula yang membuat bangsa kita (Aceh) berani melawan setiap kekejaman dan penindasan yang terjadi. Jika sejarah dilupakan, maka bangsa Aceh menjadi pengecut.

Ungkapan tersebut benar dalam kontek membangkitkan semangat perlawanan. Menyulut api pemberontakan untuk sesuatu yang sedang diperjuangakan. Tapi dalam kontek tanpa perang—dalam kondisi damai seperti sekarang—maka yang perlu disemburkan adalah perlawanan atas ketidakadilan. Dan itu pula yang membuat perdamaian bermakna bagi peradaban kemanusiaan setelah sebelumnya sekian lama berperang.

Mengingat Tragedi Bantaqiah

Tidak sedikit korban pembantaian saat operasi militer Indonesia ke Beutong Ateuh, Aceh Barat., jumlah korban tewas sebanyak 55 orang. Dengan jumlah tersebut, sepertinya generasi sekarang harus tahu, sebab pengetahuan sejarah semacam itu tidak tercantum dalam buku yang mereka pelajari di sekolah sesuai kurikulum.

Dalam buku yang ditulis Dyah Rahmany P dengan judul “Matinya Bantaqiah”, yang diterbitkan CARDOVA menceritakan, Ulama itu tersungkur setelah mendapat tembakan timah panas yang merobek perutnya, tembakan kedua dan ketiga menyusul. Hampir bersamaan rentetan tembakan lainnya secara beruntun kepada lelaki-lelaki yang berada dalam posisi jongkok dan rebah secara bertindihan.

Kejadian ini berlangsung singkat di sebuah Dayah Babul Mukaramah milik Tengku Bantaqiah yang sederhana. Secara geografis, dayah tersebut terletak sekitar 300 kilometer dari Banda Aceh, dan letaknya berada di pedalaman gunung Singgah Mata dengan diapit Gunung Abong-Abong dan Gunung Tangga.

Pada malam itu juga, warga setempat diminta oleh tentara untuk menguburkan semua mayat. Sebanyak 24 mayat dikuburkan dalam satu lobang dan tujuh mayat lainnya dkuburkan di lobang lain setelah warga menggali lobang yang baru. Sedangkan 18 orang lainnya disantera kemudian dibawa dengan truk menuju arah Takengon, Aceh Tengah.

Selain di Dayah, ternyata mayat-mayat lainnya berceceran di sepanjang jalan menuju Takengon. Di kilometer 7 pinggir jalan Ulle arah Takengon pada 25 Juli 1999, warga menemukan 5 mayat tanpa dikenali identitas. Sedangkan di kilometer 8 warga juga menginformasikan adanya 15 mayat. Muka hancur, dan kondisi mayat rata-rata tanpa pakaian.

Mengapa perlu mengingatnya? Sebagai sebuah kesadaran sejarah maka tragedy tersebut adalah nestapa kemanusiaan yang amat berat. Dengan jumlah korban tewas 55 orang tentunya meningglkan bekas luka yang teramat dalam. Terutama bagi keluarga dan anak-anak yang menjadi yatim. Terlebih lagi jika mengingat lunturnya solidaritas sesama Muslem lainnya di Aceh dalam merespon bersikap ‘diam’ atas tragedy tersebut.

Menurut Otto Syamsuddin Ishak, yang kini sebagai peneliti senior Imparsial, kejadian tersebut adalah penghancuran resistensi budaya dan Agama di Aceh; Negara sebagai kekuatan dari luar Aceh dan Ulama sendiri sebagai penghancur dari dalam. Negara menggunakan tangan militernya, dan ulama mengeluarkan fatwa penghujatan sebagai sesat. Sehingga inilah yang perlu direfleksikan ke dalam konteks kekinian agar kita selalu sadar dan agama tidak dijadikan alat untuk kepentingan politik.

Bagaimana dengan penegakan hukum dan keadilan? Pelaku disidangkan dalam perkara sidang koneksitas tanpa terpenuhi rasa keadilan bagi korban. Bahkan pelaku utama Letkol Sudjono yang disebutkan menghilang. Hingga menimbulkan ketidakpercayaan rakyat Aceh yang menganggap sidang tersebut menambah daftar impunity atau kekebalan hukum—pembiaran pelaku bebas tanpa mendapat hukuman sesuai perbuatannya.

Namun, melihat realitas saat itu tak sedikit mahasiswa dan aktivis LSM melakukan unjukrasa sebagai bentuk kekecewaan atas penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Sehingga melakukan terobosan membawa kasus tersebut ke pengadilan Internasional. Hal ini sesuai dengan Rome Treaty (perjanjian Roma) yang mengatur International Criminal Court (Mahkamah Pidana Internasional).

Menurut sejumlah aktivis HAM ketika itu, pengadilan internasional dimungkinkan jika peradilan nasional tidak efektif dan independen dalam mengadili suatu kasus pelanggaran HAM. Sesuai dengan ICC yang digagas PBB Nomor 9 Desember 1948 dengan mengacu pada Resolusi PBB Nomor 260, merupakan pengadilan internasional yang bisa menuntut beberapa kejahatan kemanusian, perang, genosida, dan kejahatan agresi. Tapi semua rencana tersebut dan usaha yang dilakukan para aktivis hingga kini berujung pada NOL.

Kesimpulan

Tragedi Tengku Bantaqiah adalah salah satu dari sekian kasus pembantaian yang terjadi di Aceh yang hingga kini tidak jelas juntrungnya. Sebut saja tragedy PT Bumi Flora, Simpang KKA, Gedung KNPI, Rumoh Geudong, Simpang Kandang, Pusong dan tragedy Tutue Arakundoe. Dengan sejumlah tragedy tersebut, perlukah kita menutup rapat-rapat pada generasi penerus untuk alasan menjaga perdamaian? Atau perdamaian yang diinginkan hanya sebatas berjabat tangan pihak bertikai sementara keadilan bagi korban masih membekas tanpa mendapat keadilan?

Dalam konteks Aceh, bertepatan peringatan hari anak nasional pada 23 Juli 2010 beberapa waktu yang lalu sudah saatnya kesadaran kita tergugah untuk merevie kembali nilai-nilai solidartitas dan kemanusiaan yang tercabik. Termasuk anak yatim hasil ‘produksi’ negara dalam sebuah kekejaman Beutong Ateuh itu yang sepatutnya mendapat tempat utama dalam merenung makna hari anak nasional dalam kondisi perdamaian Aceh.

Tulisan ini sekali lagi tidak berniat membuat perdamaian yang telah dirajut menjadi ternoda. Namun hakikat dan makna perdamaian bagi korban minimal tidak dilupakan bagi generasi selanjutnya dan petinggi dan elit Aceh sekarang. Sebab masih ada anak yatim dan janda yang butuh uluran tangan yang perlu terus diperhatikan. Tanpa terlebih dulu ber-eforia dalam singgasana dan kenikmatan yang sekejab baru didapatkan. Beutong, tanparan bagi kemajuan peradaban kemanusian kita di Aceh. Semoga!


*) Tulisan ini pernah dimuat di halaman Fokus Koran Harian Aceh

*) Alumnus Mindanao Peacebuilding Institute (MPI) Filipina

Tidak ada komentar:

Posting Komentar